Bahasan tentang narsisme tidak lepas dari mitologi Yunani kuno. Alkisah ada seorang dewa bernama Narcissus. Parasnya tampan. Saking rupawannya, banyak dewi-dewi kena panah asmaranya. Termasuk Dewi Echo.
Suatu hari, Dewi Echo mengutarakan isi hatinya kepada Narcissus. Tapi, lelaki ini menampiknya dengan kasar. Dewi Echo pun hengkang dengan hati penuh luka sampai ajalnya tiba. Melihat ini, Dewa Apollo marah besar dan mengutuk sang dewa ganteng itu, bahwa hingga akhir hidupnya, Narcissus tidak akan pernah mengetahui cinta manusianya. Kutukan pun jadi kenyataan.
Suatu hari, Narcissus kehausan. Dia sampai di sebuah kolam yang airnya sangat jernih. Di tepi kolam itu, dia kemudian berjongkok dan ingin meminum airnya. Saat berjongkok, dia pun melihat bayangan dirinya di permukaan kolam itu. Langsung saja, saat melihat bayangan dirinya yang tampan, Narcissus jatuh cinta pada bayangan itu. Namun, bayangan itu tidak memberinya respons sama sekali. Konon akhirnya Narcissus kemudian mati di tepi kolam tersebut.
Inilah kisah mitologi kuno yang pada 1898 oleh seorang psikolog dari Inggris bernama Havelock Ellis dijadikan sebagai simbol untuk orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri. Sejak itulah dikenal istilah narsistik yang menggambarkan manusia yang hanya berfokus pada dirinya sendiri serta menikmati pujaan dari orang lain kepadanya.
Bahkan, sekarang ini, dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) dikenal pula adanya Narcissistic personality disorder (NPD) yang dianggap sebagai salah satu dari gangguan kepribadian
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment