Tuesday, September 7, 2010

Mata Hati Seorang Achmad

(cerita panjang seorang pemenang sebenarnya)

Sore itu Tiga puluh tiga tahun lalu di sebuah kost pria di daerah malioboro, Ahmad mendapat kiriman sepucuk surat dari ayahnya, dengan muka berbinar ia merobek ujung nya dan membaca dengan terburu-buru. Ahmad langsung terduduk lemas membaca berita ayahnya tidak mampu lagi untuk membiayai kuliahnya di UGM yang baru berjalan 3 tahun itu.

Ahmad adalah putra pertama dari sebelas bersaudara. Ayahnya hanya seorang pegawai negri sipil Departmen Pekerjaan Umum saat itu ia sangat memiliki prestasi yang baik, bahkan Ia masuk ke perguruan tinggi Gajah Mada dengan peringkat pertama di tahun 57-an. Ahmad menunduk sedih didalam kamar kostnya, seakan masa depan yang telah terpampang cerah untuknya perlahan menjadi buram dan gelap.

Tiga hari kemudian, Ahmad berangkat kejakarta untuk mengikuti ujian saringan masuk pegawai Bank Pemerintah. Di Jakarta Achmad tinggal dirumah Adik perempuannya yang telah menikah. Saat itu sebuah pengorbanan besar bersedia Ia berikan demi ke sembilan orang adiknya yang masih kecil-kecil.

Beberapa tahun kemudian Achmad dengan otaknya yang sangat encer, dapat melanjutkan kuliahnya di Universitas Indonesia, saat itu hampir setengah dari pendapatan Achmad bekerja Ia kirimkan untuk membantu ayahnya menghidupi dan menyekolahkan adik-adiknya dikampung. Dengan sisanyalah Achmad menabung, mencukupi kehidupannya dan membayar kuliah.

Sampai pada saatnya terjadi pemberontakan G-30/S/PKI, Achmad memilih untuk keluar dari kuliahnya, disamping itu pekerjaan dikantornya membuat Achmad tidak memiliki cukup waktu untuk menjalankan kuliah.

Tahun 1966 adiknya yang ketiga masuk ke Akademi Militer Nasional, saat itu Achmad turut sibuk untuk mencari dana persiapan ujian bagi adiknya, beberapa bulan kemudian adik wanita ke empatnya menikah, Achmad sibuk pula untuk mempersiapkan pernikahan dan membelikan sebidang tanah untuk adik tercintanya.

Satahun kemudian Adik nya yang kelima datang ke Jakarta dan menginginkan untuk melanjutkan kuliah teknik di Jakarta, Achmad makin pusing, yang ada di dalam pikarannya saat itu Ia merasa beruntung sekali dengan tidak melanjutkan kuliahnya sendiri lantaran Ia harus membiayai kuliah adiknya di Akademi Teknologi Nasional (sekarang ISTN).

Kejadian itu terus berlangsung hingga tahun 1972, saat itu Achmad baru bisa memikirkan dirinya sendiri, Ia baru bisa menikah diumur 33 tahun dan telah dilangkahi oleh 3 orang adiknya. Belum lepas Ahcmad tenang, adiknya yang kelima akan dikirimkan keluar negeri untuk meneruskan sekolahnya oleh perusahaan tempat Ia bekerja, saat itu tidak seenak sekarang, dimana segala sesuatunya harus didukung dan disediakan sendiri. Saat itu lagi, Achmad selalu berfikir bahwa Ia adalah orang yang beruntung, kali ini keberuntungannya adalah Ia memiliki Istri yang baik dan rendah hati, tabungannya dan beberapa perhiasan milik istrinya terpaksa Ia jual untuk mendukung cita-cita adiknya. Bagi Achmad, Ia merasa beruntung bila bisa memberikan apapun kepada adiknya atau orang lain dibandingkan untuk memikirkan dirinya sendiri.

Tahun demi tahun berlalu, memang Tuhan sangat adil, Achmad pun dapat hidup dengan cukup makmur dan dikaruniai 3 orang anak. Tahun 1980-an Achmad baru bisa membeli rumah yang layak, rumah yang cukup untuk hidup keluarganya, jabatan nya juga cukup saja.....

Tahun 1980-an Achmad menjadi seorang kakak yang cukup disegani, saat itu prestasi Achmad dikantor sedang baik-baiknya, yah walaupun hanya kepala bagian saja, namun Achmad sangat bersukur dan merasa cukup.

Hampir disetiap minggu, rumah Achmad diramaikan dengan para ponakan dan adik-adik Achmad yang tinggal dijakarta. Saat itu berbagai sarana elektronik dan mainan anak-anak telah sanggup Achmad beli, itu pun Ia beli sekali lagi bukan saja untuk anaknya namun untuk menghibur para keponakannya disaat minggu mereka datang.

Achmad selalu mementingkan kepentingan dan berbagi kepada adik-adiknya hingga tak jarang Achmad memberikan batuan baik fasilitas kendaraan, uang maupun batuan pemikiran.

Achmad hidup rendah hati dan tidak serakah kepada jabatannya, Ia sangat Idealis, dan beberapa kali sempat didepak pimpinannya lantaran tidak bersedia diajak kerjasama kolusi - korupsi.

Karir Achmad sangat sangat singkat, tahun 1993 Ia dipensiun percepat, Ia dituduh tidak mampu bekerja lagi (Lantaran Achmad enggan mengambil keuntungan sepeserpun dari job besar yang dipercayakan kantor pusat kepada Achmad saat itu)

Achmad menjadi pecundang kali ini, namun tidak sedikit kerutanpun diwajahnya yang menunjukkan kekecewaan.... luar biasa Achmad memang sangat lapang dada.

Saat Ia pensiun, anak tertua Achmad baru berumur 19 tahun, dan yang terkecil masih berumur 15 tahun, mulai detik itulah rumah Achmad tidak lagi diramaikan dengan para keponakkan dan adik-adik tercintanya.

Era 90-an karir adik-adik Achamad meningkat pesat, juga teman-teman kecil dikampung dan teman kost Ahcmad di Jogja, bertengger hampir setiap hari, secara bergantian terpampang wajahnya di televisi, sebut saja beberapa jabatan seperti ; Panglima AL, Kasad, Direktur BNI, Direktur BI (teman se-kamar kost Achmad di Yogyakarta), Dirut Pertamina, Dekan UI, Pengamat
Ekonomi, Aktivis partai, Anggota DPR dll...... sedangkan saat itu karir Achmad sudah mati.

Achmad yang disetiap bulanya hanya menerima uang pensiun pegawai negri, tidak pernah merasa stress dan gelisah, saat itu Ia merasa masih memiliki adik-adik untuk dapat berbagi bantuan dalam melanjutkan sekolah anaknya dikemudian hari. Bukan sebuah keinginan bagi achmad untuk mengungkit budi baiknya dahulu, namun yang diketahui Achmad hanya simple; adiknya pasti merasakan persaudaraan yang sama seperti Ia rasakan untuk saudaranya, dimana dengan rasa itu, saat segenting apapun saudara akan selalu berbagi.

Namun sayangnya semuanya berubah dan tidak seperti yang Achmad bayangkan, benih budi yang ditanamkan Achmad hanya dapat membuahkan cemooh. Jangankan Achmad dijenguk adik dan para keponakannya disetiap minggu seperti dulu, bahkan hari raya pun Achmad adalah urutan terakhir yang pantas di jenguk, bahkan terkadang tidak sama sekali.

Saat ini Achmad semakin sulit, apalagi semenjak krisis ekonomi berlangsung, Achmad seperti mati langkah. Satu-persatu harta yang Ia kumpulkan selama hidupnya, bertengger dishowroom-showroom barang bekas. Namun sekali lagi Tuhan Maha Adil, tak satupun dari ketiga anak Achmad yang mengalami putus sekolah, dan tidak sekali pun periuk nasi dirumah Achmad mengalami kekosongan.

Sudah hampir 10 Tahun, Achmad tidak diperhatikan lagi dengan saudara sedarahnya, tidak ada satupun adiknya di Jakarta yang masih memberikan ucapan selamat datang dengan berdiri bersalaman mendekati Achmad ketika Achmad datang ke pertemuan keluarga. Saat ini Achmad berumur 63 tahun, tubuhnya makin kurus namun tidak satu rambut putih pun terlihat di kepala Achmad. Beliau memang orang yang tulus, beliau hanya bersih berfikir untuk berbagi, namun tidak pernah mengharap kan pengembalian sepeserpun, meski untuk membantu anak-anaknya berdagang atau melanjutkan kuliah ke S2.

Hanya satu adik Achmad yang memiliki hati mulia, Ia adalah seorang BrigJen Purn AD, Amar namanya, Ia adik ketiga Achmad, selama Ia bertugas dimanapun setiap bulan selalu memberikan kabar baik melalui, surat, telepon maupun datang berkunjung. Amar selalu memberikan bingkisan lebaran, kiriman uang dan segala perhatian yang layak adik berikan kepada kakaknya yang tidak mampu lagi. Namun tahun 2001 Beliau dipanggil lebih dulu oleh Yang Maha Kuasa mendahului sang Kakak dan Ayah Achmad di Kampung, lantaran penyakit kanker ganas yang dideritanya. Achmad merasa terpukul sekali, satu-satunya percikan persaudaraan yang masih tersisa telah kering, Achmad hanya berujar "orang baik pasti dipanggil lebih dahulu".

Tahun demi tahun, Achmad tidak memiliki apa-apa lagi lagi, persaudaraan, harta, apapun, hanya sebuah rumah yang hampir tua yang dibeberapa sudutnya terlihat kusam bekas air yang bocor dan keluarga yang biasa-biasa saja. Achmad hanya berjalan, berjubal, berkeringat di dalam penuhnya angkutan kota sementara adik dan para keponakannya menikmati kemewahan mengkoleksi mobil-mobil terbaru dan rumah-rumah indah tanpa pernah tersentuh untuk menyapa Achmad dengan sedikit kenikmatan tersebut.

Dengan perlakuan adik-adiknya, Achmad enggan untuk marah, benci atau untuk menegur prilakunya pun dia tidak mau. Terakhir Anak dari Adik Achmad yang kelima menikah, tidak ada pemberitahuan dalam bentuk apapun kepada Achmad, telepon, Surat undangan apalagi keinginan untuk datang ke pada Achmad sebagai kakak tertua. Namun dengan lapang dada dan rendah hati, Achmad tetap menghadiri pesta pernikahan keponakannya tersebut.

Tahun 2002 Achmad mendapat tawaran untuk bergabung dengan sebuah lembaga tingkat kelurahan untuk menyalurkan dana JPS kepada masyarakat, Achmad yang telah hampir 10 tahun menganggur dirumah sangat senang menjalankan program itu, meski hanya dibayar Rp 60.000 - 150.000 perbulan, namun sekali lagi Achmad selalu menyumbangkan tenaga, pikiran dan segala apa yang ia punya untuk orang lain tanpa pamrih...... meski sepungguk masalah dibenak nya tetap menjaga tidurnya. Ia sudah tidak diperlakukan sebagai kakak lagi oleh 10 orang adiknya, lantaran Ia tidak memiliki kebanggaan harta dan jabatan, yang tersisa hanya kesederhanaan, kejujuran dan keiklasan yang nyata.

Sesekali anak laki-laki Achmad yang baru saja tamat kuliah dan mulai dewasa, mencoba untuk "memaksa" Achmad untuk tegas kepada adik-adiknya itu, namun Achmad hanya menjawab singkat; "biarkan saja, tidak usah dipikirkan, kalo sudah saatnya pasti juga akan ingat lagi" Achmad hanya menunjuk pada
sebuah bola lampu; "disaat terang kita justru tidak sanggup untuk 'melihat', namun percayalah, kegelapan justru membuat kita lebih peka, berbeda jika kita memiliki kelapangan hati, bahkan disaat terang yang menyilaukanpun kita sanggup melihat apapun dengan jelas, kondisi ini akan menjadi bekal positif buat dirimu nak!"

Kerendahan hati maksud Achmad, dan tidak sekalipun dia merasakan kedongkolan terhadap saudaranya tersebut. Achmad berfikir dengan hati yang tidak bisa "melotot", hati yang tidak memiliki mata, dan hati yang selalu tersimpan gelap didalam dada. Namun sebaliknya kecermatan pada sebuah ketulusan justru terpenjara didalam kegelapan. Hanya manusia yang Iklashlah yang mampu mempergunakannya, dan tak satu pun wujud nyata dunia akan membodohi pengelihatan orang yang mampu "melihat" seperti Achmad...

Achmad memilih berkorban untuk mati, seandainya saat itu Achmad memikirkan dirinya sendiri untuk menamati kuliah dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, mungkin adik-adiknya tidak dapat menikmati hidup seperti sekarang dan keadaan akan berbeda, dan mungkin saat ini Achmad akan menjadi orang yang selalu dibutuhkan terlepas dari perlakuan kikir Achmad masa lalu. Karena Cuma uang lah (harta - jabatan) yang selalu dikejar oleh orang-orang saat ini.

Achmad seperti lilin yang menyala, mengorbankan tubuhnya sendiri terbakar habis oleh api, untuk menyinari sekelilingnya..... dan setelah itu lilin tersebut mati dan dicampakkan.

Achmad adalah nama lain dari Ayah saya...........................................

Dan saya bangga sebagai pewaris ketulusan hati yang nyata Ayah saya

0 comments: