What a Friend we Have in Jesus
What a Friend we have in Jesus, all our sins and griefs to bear!
What a privilege to carry everything to God in prayer!
O what peace we often forfeit, O what needless pain we bear,
All because we do not carry everything to God in prayer.
Have we trials and temptations? Is there trouble anywhere?
We should never be discouraged; take it to the Lord in prayer.
Can we find a friend so faithful who will all our sorrows share?
Jesus knows our every weakness; take it to the Lord in prayer.
Are we weak and heavy laden, cumbered with a load of care?
Precious Savior, still our refuge, take it to the Lord in prayer.
Do your friends despise, forsake you? Take it to the Lord in prayer!
In His arms He’ll take and shield you; you will find a solace there.
Blessed Savior, Thou hast promised Thou wilt all our burdens bear
May we ever, Lord, be bringing all to Thee in earnest prayer.
Soon in glory bright unclouded there will be no need for prayer
Rapture, praise and endless worship will be our sweet portion there.
Sejarah

Akan tetapi sehari sebelum hari perkawinan mereka, gadis tunangan Joseph Scriven mengalami kecelakaan dan mati tenggelam. Pemuda yang malang itu tentunya merasa patah hati. Di samping itu, ia pun mulai menghadapi persoalan dengan keluarganya, karena ia ikut golongan agama Kristen yang tidak disetujui oleh mereka.
Akhirnya pada tahun 1844 pemuda yang sedih itu pindah ke negeri Canada. Selama beberapa waktu ia menjadi seorang guru--mula-mula di sekolah, kemudian sebagai pendidik khusus untuk anak-anak dalam sebuah keluarga yang kaya.
Sekali lagi Joseph Scriven bertunangan, yaitu dengan saudara dari keluarga kaya tadi. Tetapi sekali lagi maut merenggut sukacita daripadanya. Setelah masa sakit yang pendek saja, kekasihnya itu meninggal dunia, tidak lama sebelum tanggal pernikahan mereka.
Menolong Sesamanya
Dalam kesedihan yang tak terhiburkan, Joseph Scriven menyingkir dari tempat ramai. Ia tinggal seorang diri dalam sebuah pondok di pinggir danau. Cara hidupnya bersahaja. Uang dan tenaganya ia gunakan demi orang miskin. Ia mencari anak-anak yatim piatu supaya dapat ditolongnya. Ia bekerja sebagai tukang kayu sukarela bagi para janda yang kekurangan. Ia bahkan memberikan pakaiannya sendiri kepada orang-orang yang lebih memerlukannya.
Pernah ada dua orang yang berpapasan di jalan dengan Joseph Scriven. Scriven memakai pakaian sederhana dan sedang menjinjing sebuah gergaji.
Salah seorang dari dua sekawan itu memberi salam kepadanya.
Kemudian yang lainnya bertanya: "Kaukenal orang tadi? Siapa namanya? Di mana tempat tinggalnya? Saya perlu orang untuk memotong kayu bakar."
Orang pertama menjawab: "Itulah Pak Scriven. Tetapi engkau tidak boleh memakai dia. Tentu ia tidak mau memotong kayu untukmu."
"Mengapa tidak mau?" tanya orang kedua dengan heran.
"Sebab engkau dapat mengupah tukang kayu yang bekerja padamu," temannya menjelaskan. "Ia hanya mau menggergaji kayu untuk para janda miskin dan orang sakit. "
Surat Berupa Syair
Sepuluh tahun setelah Joseph Scriven pindah ke Canada, ibunya di Irlandia sakit keras dan sangat sedih. Pak Scriven tidak sempat mengarungi samudra dan pulang ke negeri asalnya. Namun ia mendapat akal untuk menghibur ibunya: Seorang diri di kamarnya, ia menuliskan sebuah syair tentang Yesus, Kawan yang sejati bagi orang yang lemah. Satu salinan ia kirimkan kepada ibunya di Irlandia. Satu lagi ia simpan, dan segera melupakannya.
Beberapa tahun kemudian, Joseph Scriven sendiri jatuh sakit. Seorang tetangga yang merawat dia menemukan di kamarnya salinan syair tadi. Ia senang akan isinya, dan bertanya kepada Pak Scriven tentang sumbernya. Joseph Scriven lalu menceritakan asal usul karangannya tersebut.
Pada waktu yang lain, seorang tetangga lain lagi bertanya kepada Joseph Scriven, apakah memang dialah yang mengarang syair itu (yang pada masa itu sudah mulai menjadi terkenal). Jawab Pak Scriven: "Yah...Tuhan dan saya mengerjakannya bersama-sama. "
Akhir Cerita yang Tidak Tentu
Menjelang akhir hidupnya, Joseph Scriven tidak lagi memiliki rumah sendiri. Ada kalanya ia menginap dengan satu keluarga, ada kalanya dengan keluarga yang lain.
Pada tahun 1886, dalam usia 67 tahun, ia sedang tinggal di rumah seorang kawan. Lalu ia jatuh sakit keras. Kawannya menunggui dia siang dan malam. Tetapi pada suatu malam kawannya meninggalkan kamar si sakit sebentar. Sekembalinya, ternyata pasiennya itu tidak ada.
Teman dan tetangga segera dipanggil. Mereka mulai mencari orang yang hilang itu. Akhirnya mereka menemukan dia dalam sebuah kali yang tidak jauh dari rumah kawannya: Ia sudah menjadi mayat.
Apakah Joseph Scriven terantuk, disebabkan oleh pikiran dan tubuhnya yang sudah lemah? Apakah ia keluar untuk menikmati kesejukan malam, lalu terpeleset ke dalam kali? Ataukah kesedihannya itulah yang mendorong dia untuk bunuh diri dengan mati tenggelam, sama seperti pengalaman kekasihnya dahulu dalam kecelakaan di Irlandia 40 tahun sebelumnya?
Tak seorang pun yang tahu pasti. Namun para teman dan tetangga Joseph Scriven tahu pasti bahwa dialah seorang yang baik hati. Walau kelakuannya sering aneh, namun ia selalu berusaha menolong rakyat miskin. Maka mereka mendirikan sebuah tugu peringatan baginya di desa Canada tempat tinggalnya itu.
Sedikit sekali orang dari tempat lain yang pernah melihat tugu peringatan Joseph M. Scriven itu. Tetapi berjuta juta orang di seluruh dunia menyanyikan "Lagu Penghiburan Karangan Orang Sedih" yang diciptakannya. Siapakah pengarang musiknya?
Ahli Hukum dan Ahli Musik

Kebanyakan karangan Charles Converse ditulis dengan nama samaran "Karl Reden." "Karl" itu sama dengan "Charles. " "Reden " dalam bahasa Jerman, artinya sama dengan "Converse" dalam bahasa Inggris, yaitu: bercakap-cakap. Dengan memakai nama itu, Charles Converse menulis musik simfoni, oratorio, dan banyak gubahan yang lain, baik lagu rohani maupun lagu biasa. Beberapa karangannya pernah dimainkan oleh orkes-orkes ternama di New York dan kota-kota besar lainnya.
Namun hanya satu karangan Charles Converse yang masih diingat dewasa ini, yaitu lagu sederhana yang diciptakannya untuk syair hasil karya Joseph Scriven tadi. Bahkan lagu karangannya itu sangat disenangi khalayak ramai, sehingga dicocokkan juga dengan syair duniawi, di samping syair rohani. Dalam bentuknya yang populer itu, lagu karangan Charles Converse masih sewaktu-waktu terdengar di Indonesia masa kini.
Yang Terakhir Menjadi yang Pertama

Lalu Ira Sankey menemukan sebuah buku kecil berisi lagu-lagu untuk anak-anak Sekolah Minggu. Dalam buku kecil tersebut ia pun menemukan "Lagu Penghiburan Karangan Orang Sedih."
Segera Ira Sankey pergi kepada penerbit dan minta supaya lagu baru itu ditambahkan kepada bukunya. Tetapi satu-satunya cara yang mungkin ialah dengan mencabut salah satu lagu yang sudah dimasukkan, supaya ada tempat lowong. Kebetulan Ira Sankey menemukan sebuah lagu pilihan lainnya yang juga dikarang oleh Charles Converse, dan lagu itulah yang dijadikan korban.
Tepat sekali penilaiar Ira D. Sankey! Nyanyian yang dimasukkannya pada detik terakhir itu umumnya disukai orang. Maka Ira Sankey sendiri kemudian mengatakan: "Demikianlah lagu pilihan yang terakhir dimasukkan ke dalam buku itu, menjadi yang pertama dalam tanggapan orang banyak."
Sekarang nyanyian itu masih tetap termasuk "yang pertama dalam tanggapan orang banyak," bahkan di seluruh dunia. "Lagu Penghiburan Karangan Orang Sedih" itu telah membimbing banyak orang di mana-mana untuk membawakan beban hidup mereka kepada Tuhan Yesus, dalam doa yang bersungguh-sungguh.
Referensi :
0 comments:
Post a Comment